A. Mekanisme Reaksi Substitusi
Nukleofilik
Reaksi yang berlangsung karena
penggantian satu atau lebih atom atau gugus dari suatu
senyawa oleh atom atau gugus lain
disebut reaksi substitusi. Bila reaksi substitusi melibatkan
nukleofil, maka reaksi disebut
substitusi nukleofilik(SN), dimana S menyatakan substitusi dan N
menyatakan nukleofilik.
Spesies yang bertindak sebagai
penyerang adalah nukleofil (basa Lewis), yaitu spesies
yang dapat memberikan pasangan
elektron ke atom lain untuk membentuk ikatan kovalen.
Perubahan yang terjadi pada reaksi
ini pada dasarnya adalah: suatu nukleofil dengan membawa
pasangan elektronnya menyerang
substrat (molekul yang menyediakan karbon untuk
pembentukan ikatan baru), membentuk
ikatan baru dan salah satu substituen pada atom karbon
lepas bersama berpasangan
elektronnya.
Jika nukleofil penyerang dinyatakan
dengan lambang Y: atau Y dan substratnya R-X;
maka persaman reaksi substitusi
nukleofilik dapat dituliskan secara sederhana sebagai berikut:
R – X + Y-
R – Y + X-
Laju order kedua : r = k. [OH-]
[R-X]
Bila alkilhalida memiliki atom C
kiral
(
R ) ( S )
Ket : R1= H, R2=
CH3, R3=C2H5
Substrat nukleofil hasil substitusi
gugus pergi
Gugus pergi adalah substituen yang
lepas dari substrat, yang berarti atom atau gugus apa
saja yang digeser dari ikatannya
dengan atom karbon. Substrat bisa bermuatan netral atau positif,
sedangkan nukleofil bermuatan netral
atau negatif. Pada umumnya nukleofil adalah ion yang
bermuatan negatif (anion), tetapi
beberapa molekul netral dapat pula bertindak sebagai nukleofil,
contoh: H2O, CH3OH,
dan CH3NH2
Hal ini disebabkan karena
molekul-molekul netral tersebut,
memiliki pasangan elektron
menyendiri yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan sigma
dengan atom C substrat. Dalam reaksi
substitusi nukleofilik bila nukleofilnya H2O atau -OH
disebut reaksi hidrolisis, sedangkan
bila nukleofil penyerangnya berupa pelarut disebut reaksi
solvolisis. Dengan demikian maka
reaksi substitusi nukleofilik dapat dituliskan dalam 4 macam
persamaan reaksi, yaitu :
Nu:- + R – L → Nu – R
+ L : -
Nu:
+ R – L → Nu+ – R + L :-
Nu: - + R – L+ → Nu –
R + L :
Nu:- + R – L+ → Nu+
– R + L :
Keterangan :
Nu : atau Nu:ˉ adalah nukleofil
L : atau L:ˉ adalah gugus pergi
Ion atau molekul yang merupakan basa
yang sangat lemah, seperti Iˉ, Clˉ, Brˉmerupakan
gugus pergi yang baik, karena mudah
dilepaskan ikatannya dari atom C substrat. Sedangkan
nukleofil yang baik adalah nukleofil
yang berupa basa kuat.
Mekanisme Reaksi Substitusi
Nukleofil Senyawa Alifatik
Reaksi substitusi nukleofil senyawa
alifatik biasanya terjadi pada senyawa alkil halida
(R-X).
Atom karbon yang mengikat halida pada alkil halida ini, mempunyai muatan
parsial positif, sehingga mudah diserang oleh nukleofil. Jika gugus perginya
adalah ion halida, maka gugus ini merupakan gugus pergi yang baik karena
ion-ion halidanya merupakan basa yang
sangat lemah dan mudah digantikan
oleh nukleofil.
1. Mekanisme Reaksi SN2
Bila laju reaksi substitusi
nukleofilik tergantung pada konsentrasi substrat dan nukleofil,
maka reaksi ini dimanakan reaksi
tingkat dua dan dinyatakan dengan SN2.
Notasi SN2 menunjukkan reaksi
substitusi nukleofil bimolekular, yang berarti bahwa pada reaksi ini ada 2 spesies
yang terlibat dalam pembentukan keadaan transisi. Dalam reaksi SN2,
nukleofil
menyerang substrat dari arah
belakang, dalam arti nukleofil mendekati substrat dari arah yang
berlawanan dengan posisi gugus
pergi. Reaksinya merupakan proses satu langkah, tanpa
pembentukan zat antara. Pola umum
dari serangan nukleofil terhadap substrat ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
nukleofil substrat keadaan transisi
hasil
substitusi gugus pergi
Penyerangan nukleofil dari arah
belakang suatu atom karbon tetrahedral yang mengikat
gugus pergi, ada dua hal yang
terjadi yaitu: suatu ikatan baru mulai dibentuk dan ikatan C-X
mulai terputus. Proses ini disebut
proses satu tahap (proses serempak). Pada proses ini
diperlukan energi untuk memutuskan
ikatan C-X. Energi tersebut dipenuhi dari energi yang
dibebaskan pada pembentukan ikatan
C-Y yang terjadi secara simultan. Jika energi potensial
kedua spesies yang bertumbukan cukup
tinggi, maka dapat dicapai suatu keadaan energi yang
memudahkan pembentukan ikatan baru
dan pemutusan ikatan C-X.
Pada waktu pereaksi berubah menjadi
hasil substitusi, maka pereaksi tersebut harus
melewati keadaan antara yang
memiliki energi potensial tinggi jika dibandingkan dengan energi
rata-rata pereaksi dan hasil reaksi.
Keadaan antara ini disebut keadaan transisi atau kompleks
teraktifkan.
Karena pembentukan keadaan transisi ini melibatkan dua partikel yaitu substrat
dan nukleofil, maka reaksi SN2 dikatakan bersifat bimolekular.
Keadaan transisi ini melibatkan suatu rehibridisasi sementara dari atom C yang
mengikat gugus pergi dan sp3 ke sp2 dan akhirnya kembali
ke sp3 pada saat hasil reaksi terbentuk. Jika nukleofil
menyerang dari arah belakang molekul substrat, ketiga gugus yang terikat pada
atom karbon dengan hibridisasi sp3 berubah posisi menjadi datar pada
keadaan transisi, kemudian membalik ke posisi yang lain (seperti
payung yang kelewat terbuka). Peristiwa membalik ini disebut
inversi.
Laju reaksi SN2 ditentukan
oleh konsentarsi substrat dan konsentrasi nukleofil. Artinya
konsentrasi kedua reaktan terlibat
dalam langkah penentu laju reaksi. Jika konsentrasi pereaksi dalam reaksi SN2
diperbesar akan menambah laju pembentukan produk. Hal ini disebabkan
karena dengan penambahan konsentrasi
pereaksi tersebut, akan akan meningkatkan jumlah
tumbukan antar molekul. Untuk reaksi
SN2 yang dinyatakan dengan persamaan reaksi:
Nu- + R-X R-Nu + X
maka :
Laju reaksi SN2 = k
[R-X][Nu-]
Ket :
[R-X] dan [Nu-] : konsentrasi dalam mol/liter untuk substrat dan nukleofil
K
: tetapan laju reaksi
Harga k konstan untuk reaksi dengan
kondisi eksperiman yang sama (pelarut, konsentrasi).
Untuk membuktikan adanya inversi
konfigurasi pada reaksi SN2 yaitu dengan menggunakan substrat yang
bersifat aktif optik. Inversi konfigurasi ini disebut inversi Walden,
sebagai penghormatan terhadap Walden
atas jasanya dalam melakukan observasi yang intensif
yang mengungkapkan adanya fenomena
tersebut. Contoh yang digunakan oleh Walden untuk
membuktikan terjadinya inversi
konfigurasi pada reaksi SN2 ini adalah reaksi antara (+)-asam
malat dengan tionil klorida (SOCl2)
yang menghasilkan (+)-asam klorosuksinat, sedangkan bila (+)-asam
malat direaksikan dengan PCl5 ternyata menghasilkan (-)-asam
klorosuksinat.
Inversi konfigurasi dapat terjadi
dalam reaksi diatas, di mana terlihat bahwa gugus OHˉ
tidak menempati posisi yang
sebelumnya diduduki oleh Br. Dapat dikatakan bahwa alkohol yang
terbentuk yaitu 2-oktanol mempunyai
konfigurasi yang berlawanan dengan 2-bromooktana.
Inversi konfigurasi artinya suatu
reaksi yang menghasilkan senyawa dengan konfigurasi yang
berlawanan dengan konfigurasi
reaktan.
Laju reaksi yang mengikuti mekanisme
SN2 terutama disebabkan oleh faktor sterik dan
bukan ditimbulkan oleh faktor
polaritas. Hal ini berarti perbedaan laju reaksi berkaitan dengan
keruahan substituen dan bukan karena
faktor distribusi elektronnya. Apabila jumlah substituen
yang terikat pada atom C yang
mengikat gugus pergi bertambah, maka kereaktifannya dalam
reaksi SN2 akan menurun.
Contoh : Reaksi substitusi gugus OHˉ
pada 2 macam alkil halida primer.
1. OH- + CH3Br CH3OH + Br
Bromometana methanol
2. OH- + CH3CH2Br CH3CH2OH + Br
bromometana etanol
Laju reaksi dari bromometana 30x
lebih cepat daripada bromoetana. Jika bromoetana
memerlukan waktu satu jam untuk
menyelesaikan separuh reaksi, maka bromoetana hanya
memerlukan 1/30 kalinya, yaitu 2
menit saja untuk menyelesaikan separuh reaksinya. Laju relatif
rata-rata beberapa alkil halida
dalam reaksi SN2 dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1. Laju reaksi relatif
rata-rata beberapa alkil halida dalam reaksi SN2
Alkil
Halida
|
Laju
Relatif
|
CH3X
|
30
|
CH3CH2X
|
1
|
CH3CH2
CH2X
|
0,4
|
CH3CH2
CH2CH2X
|
0,4
|
(CH3)2
– CHX
|
0,025
|
(CH3)2
– CH CH2 -X
|
0,030
|
(CH3)3
CCH2 -X
|
10-5
|
(CH3)3
C -X
|
0
|
Makin meruahnya gugus yang diikat
oleh atom C yang mengikat gugus pergi makin
rendah laju reaksinya. Untuk alkil
halida sederhana, urutan kereaktifannya dalam reaksi SN2 adalah:
metil > alkil primer > alkil sekunder > alkil tersier
Laju reaksi neopentil halida
terhadap reaksi SN2 sangat rendah, meskipun senyawa
termasuk alkil halida primer. Hal
ini disebabkan karena dalam reaksi SN2 nukleofil menyerang
atom karbon yang mengikat gugus
pergi, sehingga gugus yang meruah pada atom karbon atau
didekat atom karbon tersebut akan
menghalangi serangan nukleofil.
2. Mekanisme Reaksi SN1
Reaksi substitusi nukleofilik yang
laju reaksinya hanya tergantung dari konsentrasi
substrat dan tidak tergantung pada
konsentrasi nukleofil disebut reaksi SN1 atau reaksi substitusi
nukleofilik unimolekuler. Reaksi SN1
terdiri dari dua tahap. Tahap pertama melibatkan ionisasi
alkil halida menjadi ion karbonium,
berlangsung lambat dan merupakan tahap penentu reaksi.
Tahap ke dua melibatkan serangan
yang cepat dari nukleofil pada karbonium. Contoh dari reaksi
substitusi nukleofilik unimolekuler
adalah hidrolisa tersier butil bromida. Tersier butil halida dan
alkil halida tersier lainnya, karena
keruahan strukturnya (rintangan sterik) tidak bereaksi secara SN2.
Tetapi bila t-butilbromida direaksikan dengan suatu nukleofil yang berupa basa
yang sangat
lemah (seperti H2O atau
CH3CH3OH), memberikan hasil substitusi SN1
Hasil reaksi substitusi yang
diperoleh pada reaksi SN1 berbeda dengan hasil substitusi
yang diperoleh pada reaksi SN2.
Sebagai
contoh bila dalam reaksi SN1 digunakan substrat suatu enantiomer
murni dari alkil halida yang mengandung atom C kiral, akan diperoleh hasil substitusi
yang berupa campuran rasemik dan bukannya hasil inversi konfigurasi seperti
yang diperoleh pada reaksi SN1. Disamping itu diperoleh kesimpulan
bahwa pada reaksi SN1 pengaruh konsentrasi nukleofil terhadap laju
reaksi keseluruhan sangat kecil. Hal ini berlawanan dengan reaksi SN2yang
laju reaksinya berbandingan lurus dengan konsentrasi nukleofil. Tersier -butilbromida
dapat bereaksi SN1dengan ion hidroksida.
Reaksi SN1 t- butil bromida dengan
gugus OH- diatas merupakan reaksi bertahap. Tahap pertama
adalah pemutusan ikatan C-Br membentuk sepasang ion yaitu ion bromida dan karbokation (suatu ion dengan muatan positif
pada atom C). Karena pada reaksi ini melibatkan pembentukan ion,
maka reaksi ini dibantu oleh pelarut polar seperti H2O dengan cara
menstabilkan ion yang terbentuk melalui proses solvasi.
Permasalahan bagaimana cara menstabilkan ion yang terbentuk melalui proses solvasi ?
Terimakasih
Terimakasih
Saya Ferdinand akan mencoba membantu menjawab permasalahan dari Arek,
BalasHapusReaksi SN1 adalah reaksi ion. Mekanismenya
kompleks karena adanya antara molekul pelarut,
molekul RX, dan ion-ion antara yang terbentuk.
Reaksi SN1 antara suatu alkil halida tersier
adalah reaksi bertahap (stepwise reaction).
Tahap pertama berupa pematahan alkil halida
menjadi sepasang ion: ion halida dan suatu
karbokation, suatu ion dalam mana atom karbon
mengemban suatu muatan positif. Karena reaksi
SN1 melibatkan ionisasi, reaksi-reaksi ini
dibantu oleh pelarut polar, seperti H20, yang
dapat menstabilkan ion dengan cara solvasi
(solvation)
Tahap 1:
(CH3)3C Br (CH3)3 C--- Br (CH3)3C+ + Br
keadaan transisi 1 zat-antara, karbokation
tak stabil
Tahap 2 adalah penggabungan karbokation itu
dengan nukleofil (H2O) menghasilkan produk
awal, suatu alkohol berproton(protonated).
Tahap 2:
Tahap terakhir dalam deret ini adalah lepasnya
H+ dari dalam alkohol berproton tadi, dalam
suatu asam-basa yang cepat dan reversibel,
dengan pelarut.
Tahap 3:
Jadi reaksi keseluruhan t-butil bromida dengan
air sebenarnya terdiri dari dua reaksi yang
terpisah: reaksi SN1(ionisasi yang diikuti oleh
kombinasi dengan nukleofil) dan suatu reaksi
asam-basa. Tahap-tahap itu dapat diringkaskan
sebagai berikut:
Gambar Diagram energi untuk suatu reaksi SN1
yang lazim
Perhatikan diagram energi untuk suatu reaksi
SN1. Tahap 1 (ionisasi) secara khas mempunyai
Eakt tinggi; inilah tahap lambat dalam proses
keseluruhan. Harus tersedia cukup energi agar
alkil halida tersier mematahkan ikatan sigma C-
X dan menghasilkan karbokation serta ion
halida.